Header Ads






sejarah Masjid Raya Sultan Riau di pulau Penyengat, Tanjung Pinang

1. Sejarah Pembangunan*
 Masjid yang menjadi kebanggaan orang Melayu ini didirikan pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M), atas prakarsa Raja Abdurrahman, Yang Dipertuan Muda Riau VII. Pelaksanaan pembangunannya melibatkan seluruh lapisan masyarakat di kerajaan Riau, yang bekerja siang malam secara bergiliran. Di dalam masjid, tersimpan kitab-kitab kuno (terutama yang menyangkut agama Islam), bekas koleksi perpustakaan yang didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X. Benda menarik lain yang terdapat dalam masjid adalah mimbar indah dan kitab suci al-Quran tulisan tangan. *
2. Lokasi
Masjid ini terletak di Pulau Penyengat Indera Sakti , Kecamatan Tanjung Pinang Barat, Kepulauan Riau, Indonesia. Pulau Penyengat berukuran sekitar 2x1 km, berjarak sekitar 2 km dari Tanjung Pinang, dengan jarak tempuh sekitar 15 menit dengan perahu motor. Masjid Sultan Riau ini terletak di pelataran. Kemungkinan, lokasi tersebut bekas bukit kecil yang diratakan, dengan tinggi sekitar 3 meter dari permukaan jalan. Untuk naik ke masjid, dibuat tangga yang cukup tinggi. 
*3. Luas
Masjid ini berukuran 18x19,80 m, sementara luas lahannya sekitar 55x33 m. 
*4. Arsitektur
Dalam kompleks masjid, dari tangga hingga mihrab, terdapat unit bangunan yang terpisah-pisah, masing-masing dalam posisi simetris. Dari tangga, terdapat jalan setapak pada sumbu tengah dari unit bangunan simetris tersebut. Di halaman kiri dan kanan masjid, ada bangunan berdinding beratap limasan batu. Masyarakat setempat menyebut bangunan kembar tersebut dengan nama /sotoh./ Tempat ini berfungsi sebagai tempat permusyawaratan para ulama dan cendekiawan. Selain itu, juga terdapat bangunan kembar di sisi kiri dan kanan, masing-masing berbentuk persegi empat panjang. Sisi terpanjangnya sejajar dengan arah kiblat. Kedua bangunan ini semacam gardu, tapi besar dan panjang tak berdinding, mempunyai kolong, dengan konstruksi terbuat dari kayu. Pintu utama masuk masjid berada di tengah, menjorok ke depan seperti beranda (/porch/) dan diatapi kubah. Di tiap sudutnya terdapat pilaster. Denah dan semua elemen yang ada dalam masjid berada dalam susunan simetris. Atap ruang utama masjid sangat unik, dan menunjukkan adanya pengaruh India, dimana arsiteknya berasal. Keunikan itu berupa deretan melintang dan membujur dari kubah-kubah. Kubah berbentuk bawang, berbaris empat mengarah kiblat dan berbaris tiga dengan arah melintang. Secara keseluruhan kubahnya berjumlah 12. Jika ditambah dengan kubah di atas beranda depan pintu masuk utama, maka, jumlahnya menjadi 13. Masjid memiliki 4 buah menara, posisinya berada di setiap sudut ruang utama sembahyang, dengan bentuk yang hampir sama. Puncak menara berbentuk sangat runcing seperti pensil. Tampaknya menara ini dipengaruhi oleh menara-menara masjid di Turki, yang sebenarnya berasal dari gaya arsitektur Bizantium. Hal yang sedikit membedakan, menara masjid di Turki runcing, tinggi dan ramping, sementara menara Masjid Sultan Riau di Penyengat hanya runcing, namun tidak tinggi dan ramping (gemuk). Mengenai arti jumlah kubah yang mencapai 13 buah, ada yang mengatakan bahwa jumlah tersebut melambangkan rukun masjid, dan jika ditambah dengan jumlah menara yang empat, maka jumlahnya menjadi 17. Ini melambangkan jumlah rakaat shalat fardlu dalam sehari semalam. Bangunan masjid ini seluruhnya terbuat dari beton. Di bagian dalam ruang utama, terdapat empat buah tiang utama. Cerita masyarakat tempatan menyebutkan, untuk membangun masjid ini, terutama untuk memperkuat beton kubah, menara dan bagian tertentu lainnya, dipergunakan bahan perekat dari campuran putih telur dan kapur. *5. Perencana* Berdasarkan cerita turun temurun masyarakat tempatan, konon arsitek Masjid Penyengat adalah seorang keturunan India yang bermukim di Singapura. Namun, tidak ada yang mengetahui secara pasti, siapa nama arsitek tersebut. *6. Renovasi* (Dalam proses pengumpulan data). Sumber: /Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Sumalyo, Yulianto. 2006. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press./ Kredit foto: 
www.wisatamelayu.com

Tidak ada komentar