Mendudukkan Kebhinekaan
Add caption |
Namun dua hari kemudian, tepatnya Minggu 4 Desember 2016, bertempat di Bundaran HI, ribuan orang berkumpul mengadakan kegiatan yang mereka namakan dengan Parade Kebhinekaan yang mengusung tema “Kita Indonesia”.Aksi serupa juga pernah dilakukan beberapa hari setelah jutaan umat Islam melakukan aksi bela Islam II pada 4 Nopember (Aksi 411). Pada tanggal 19 Nopember, ratusan orang kemudian mengadakan kegiatan yang mereka namanya dengan Parade Bhineka Tunggal Ika di lokasi yang sama. Pesan tersirat yang ingin mereka sampaikan adalah bahwa tuntutan umat Islam pada Aksi Bela Islam I, II dan III bertentangan dan mengancam kebhinekaan di negara ini.
Padahal apa yang dilakukan oleh umat Islam hanyalah meminta pihak Kepolisian agar segera menangkap Ahok yang telah melakukan penghinaan terhadap kitab suci umat Islam. Aksi itu tidak ada dalam konteks anti Cina atau anti Kristen.
Memahami Bhineka Tunggal Ika
Frasa Bhineka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuno. Frasa ini sering diterjemahkan dengan kalimat: “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Kalau diterjemahkan secara perkata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ikaditerjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu-kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Frasa Bhineka Tunggal Ika merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini karena mengajarkan toleransi antar umat Hindu Siwa dan umat Budda.1
Dengan dasar pemahaman ini, negara berharap agar masyarakat memiliki kesadaran bahwa Indonesia adalah negara yang plural atau heterogen, bukan homogeny. Karena itu harus tumbuh rasa saling menghormati antaragama, antarsuku dan antargolongan. Ini yang disebut sikap saling menghormati setiap perbedaan atau yang kemudian lebih dikenal dengan sikap toleransi.
Salah-Kaprah Kebhinekaan
Dengan demikian, kebhinekaan bermakna keberagaman atau pluralitas, yakni kemajemukan suatu bangsa. Ini berbeda dengan ide pluralisme yang menganggap semua agama adalah sama. Ini jelas kesalahan dalam memahami kebhinekaan.
Berbeda namun tetap satu bukan diartikan sebagai kesamaan dalam arti pluralisme. Adanya keberagaman secara budaya, bahasa daerah, ras, suku, agama dan kepercayaan tetap dalam satu kesatuan, yakni sebagai bangsa Indonesia.
Karena itu memahami kebhinekaan sebagai pluralisme adalah suatu kesalahan alias salah-kaprah kalau tidak mau dikatakan salah paham atau gagal paham.
Menjegal Umat Islam
Isu kebhinekaan kerap muncul tatkala umat Islam bergerak menuntut keadilan atau ketika umat Islam menyuarakan aspirasi mereka. Misalnya, ketika terjadi kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu pada hari Jumat tanggal 29 Juli 2015 sekitar pukul 21.00 WIB. Kerusuhan ini dipicu oleh protes keberatan seorang warga etnis Tionghoa dengan suara azan di masjid. Padahal azan di masjid adalah satu hal yang disyariatkan sebelum melaksanakan ibadah shalat. Azan tersebut dianggap mengganggu dan tidak menghormati agama lain yang berada di sekitar masjid tersebut.
Mereka juga menyatakan bahwa pelarangan pemakaian kerudung bagi Muslimah di Bali adalah wujud dari keberagaman tersebut. Implementasi dari semangat Bhineka Tunggal Ika. Karena itu umat Islam yang tinggal di Bali harus menghormati ketentuan yang berlaku di sana.
Saat umat Islam menjadi pihak yang dizalimi, sebagaimana kasus penistaan agama oleh Ahok, isu kebhinekaan dimainkan sehingga menjadi penghalang umat Islam dalam menuntut keadilan. Seolah Ahok adalah simbol kebhinekaan. Karena itu menuntut Ahok dihukum sama artinya mencederai keberagaman atau kebhinekaan di negeri ini.
Contoh lain ketika terjadi kasus pembakaran masjid di Tolikara. Umat Islam menuntut pihak Kepolisian agar segera menindak tegas pelakunya. Namun, oleh Pemerintah, umat Islam malah diminta agar menjaga kerukunan hidup beragama di sana. Padahal kehidupan umat Islam dan Kristen di Tolikara tidak ada masalah. Masalah baru muncul tatkala terjadi pembakaran kios dan masjid oleh warga Kristen di sana. Harusnya para pembakar itulah yang disebut mengancam kebhinekaan, karena mereka yang mengakibatkan terjadi keributan tersebut.
Namun, sebagian orang kemudian kembali memainkan isu kebhinekaan. Mereka berpendapat bahwa sikap umat Islam yang menuntut penangkapan pelaku pembakaran kios dan masjid tersebut akan menimbulkan konflik yang akan menggangu kehidupan beragama di Tolikara. Dengan isu kebhinekaan tersebut akhirnya umat Islam seolah “dipaksa” untuk menerima dan memaafkan ketidakadilan yang terjadi pada umat Islam.
Hal yang sama juga terjadi pada isu kristenisasi. Sikap umat Islam yang menentang praktik kristenisasi dianggap sebagai sikap anti kebhinekaan, termasuk dalam hal pendirian gereja. Padahal sebelumnya sudah menjadi kesepakatan agar tidak mendirikan gereja di wilayah tersebut untuk menjaga keharmonisan dalam beragama.
Namun, ketika gereja tersebut didirikan, dan umat Islam kemudian melakukan aksi menolak pendirian gereja tersebut, malah umat Islam yang dituduh menggangu kebhinekaan. Harusnya umat Kristen yang diingatkan agar menjaga kebhinekaan dengan tidak membangun gereja sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, kecuali memang pendirian tersebut sesuai dengan ijin mendirikan bangunan rumah ibadah.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa isu kebhinekaan selalu dijadikan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjegal Islam dan umat Islam. Akibatnya, umat Islam, walaupun secara jumlah adalah mayoritas di negeri ini, dibuat tidak berdaya saat ingin menyuarakan aspirasi dan tuntutannya ketika dihadapkan kepada isu kebhinekaan.
Melegitimasi Kemaksiatan
Isu kebhinekaan juga dijadikan alat untuk melegitimasi tindak kriminal dan kemaksiatan. Contohnya para pelaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender). Dengan dalih kebhinekaan, mereka ingin agar keberadaan mereka diakui di negeri ini. Padahal perilaku sebagai LGBT sejatinya telah melakukan perbuatan kriminal sekaligus praktek kemaksiatan. Ironisnya, mereka berkembang di negara ini.
Misalnya pada bulan Juni 2013, diadakan Kegiatan Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Dialog menghadirkan 71 peserta dari 49 lembaga yang mewakili keseluruhan keragaman organisasi LGBT di Indonesia, selain wakil-wakil pemerintah pusat, lembaga hak asasi nasional, lembaga donor, perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah untuk hak asasi manusia, organisasi bantuan hukum dan organisasi masyarakat madani, serta beberapa tokoh agama.
Pada laporan kegiatan tersebut disampaikan bahwa jumlah organisasi yang ada di Indonesia relatif besar, terdiri dari: dua jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 provinsi dari keseluruhan 34 provinsi di Indonesia, beragam dari segi komposisi, ukuran dan usia.2
Mengapa perilaku LGBT disebut sebagai sebuah tindakan kriminal? Sebabnya, perilaku tersebut termasuk perbuatan yang dilarang oleh syariah dan diancam dengan sanksi had atau ta’zîr ketika dilakukan. Ini sebagaimana pengertian tindak kriminal (jarîmah) yang dijelaskan oleh Imam al-Mawardi, “Tindakan kriminal adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariah, yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zîr.3
Inkonsisten
Sering seruan untuk menjaga kebhinekaan di negeri ini oleh beberapa kalangan dilakukan secarta inkonsisten. Misalnya dalam hal untuk menjadi kepala daerah di Papua syaratnya harus warga asli Papua, sebagaimana disebutkan pada Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).
Pasal 12 UU Otsus Papua menyebutkan, “Yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. Orang asli Papua…”
Dengan dasar UU tersebut kemudian pemerintah Papua mensyaratkan hanya warga asli Papua saja yang boleh untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur di tanah Papua. Hal ini dianggap bagian dari kebhinekaan. Ini yang lucu. Harusnya hal tersebut malah tidak sesuai dengan kebhinekaan. Jika kebhinekaan itu adalah mengakui keberagaman, harusnya siapapun boleh untuk menjadi kepada daerah di Papua, tidak harus memiliki syarat sebagai orang asli Papua, karena baik suku asli Papua ataupun bukan sama saja. Ini jelas inkonsisten dalam melaksanakan nilai-nilai dari kebhinekaan itu sendiri.
Alat Kepentingan Politik
Penguasa di negeri ini begitu massif dalam mensosialisasikan empat pilar kebangsaan. Salah satunya adalah Bhineka Tunggal Ika. Ini jelas dalam rangka untuk menutup kemungkinan umat Islam untuk menyuarakan tuntutannya.
Ironis memang, saat mayoritas umat Islam di negeri ini menyuarakan aspirasi mereka terkait penerapan syariah Islam dan dakwah untuk menegakkan sistem Khilafah Islam, maka dikatakan hal tersebut akan menggangu kebhinekaan. Padahal tidaklah demikian. Pasalnya, pluralitas atau keberagaman di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa merupakan sebuah keniscayaan, yang bisa disebut sebagai sebuah sunnatulLâh. Allah SWT sendiri menciptakan manusia dengan keberagamannya baik bersuku-suku, agama dan bangsa. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13).
Oleh karena itu, Islam tidak memiliki masalah dengan kebhinekaan. Bahkan Islam akan membuat kebhinekaan tersebut menjadi berkah yakni dengan penerapan syariah Islam. Sebabnya, ketika Islam tegak dengan sistem Khilafahnya, warga negara dengan berbagai latar belakang agama, suku bangsa dan mazhab bias hidup berdampingan secara damai. Demikianlah sebagaimana damainya kehidupan pemeluk agama Islam, Nasrani dan Yahudi selama ratusan tahun ketika Kekhilafahan Islam tegak di Andalusia (Spanyol).
Demikian pula dengan kehidupan non-Muslim di bawah Kekhilafahan Turki Ustmaniyah. T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Adi Victoria (Humas HTI Kaltim)]
Catatan kaki:
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
2 http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/docs/LGBT/Indonesia%20report,%2027%20May%2014_ID_FINAL_Bahasa.pdf
3 Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah.
Post a Comment