Kejadian Dahsyat pada Hari Kiamat (Tafsir QS al-Infithar [82]: 1-5)
(Tafsir QS al-Infithar [82]: 1-5)
إِذَا ٱلسَّمَآءُ ٱنفَطَرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡكَوَاكِبُ ٱنتَثَرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡبِحَارُ فُجِّرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡقُبُورُ بُعۡثِرَتۡ, عَلِمَتۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ وَأَخَّرَتۡ
Jika langit terbelah, jika bintang-bintang jatuh berserakan, jika lautan dijadikan meluap dan jika kuburan-kuburan dibongkar maka setiap jiwa akan mengetahui apa saja yang telah dia kerjakan dan yang telah dia tinggakan(QS al-Infithar [82]: 1-5).
Tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama bahwa surat ini tergolong sebagai Makiyyah.1 Surat yang terdiri dari sembilan belas ayat ini diawali dengan berita tentang beberapa peristiwa yang terjadi pada Hari Kiamat. Dalam ayat terakhir disebutkan bahwa pada Hari Kiamat, semua urusan menjadi milik Allah SWT.
Tentang surat ini, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ رَأْىُ عَيْنٍ فَلْيَقْرَأْ (إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ) وَ (إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ) وَ (إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ)
Siapa saja yang ingin menyaksikan Hari Kiamat seolah-olah melihat dengan mata kepala sendiri, hendaklah membaca surat at-Takwir, al-Infithar, dan al-Insyiqaq (HR al-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Idz as-samâ‘ [i]nfatharat (Jika langit terbelah). Yang pertama kali disebutkan dalam ayat adalah kejadian pada langit, yakni saat langit mengalami [i]nfatharat. Kata [i]nfatharat berasal dari kata al-fithr. Artinya, asy-syaqq (belahan). Dikatakan: Fathartuhu fa [i]nfathara (Aku membelahnya sehingga ia pun terbelah). Juga perkataan: fathara nâb al-ba’îr (Gigi taring unta itu terbelah). 2
Pengertian ini pula yang diambil oleh para mufassir dalam memahami ayat ini. Menurut mereka, kata [i]nfatharat dalam ayat ini bermaknainsyaqqat (terbelah). Demikian menurut para mufassir seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, al-Khazin, al-Alusi, al-Baghawi, al-Jazairi, dan lain-lain.3 Oleh karena itu keseluruhan ayat ini bermakna: Ketika langit terbelah.
Menurut Imam al-Qurthubi, al-Wahidi, al-Alusi, dan lain-lain, langit terbelah lantaran para malaikat diturunkan (QS al-Furqan [25]: 25).4
Kemudian Allah SWT berfirman: wa idzâ al-kawâkiba [i]ntatsarat (jika bintang-bintang jatuh berserakan). Kejadian besar lainnya juga terjadi pada benda-benda langit, yakni saat al-kawâkib mengalami [i]ntatsarat. Kata al-kawâkib adalah bentuk jamak dari kata al-kawkab. Menurut Dr. Ahmad Mukthar, al-kawkab adalah benda langit yang beredar di sekitar matahari dan bercahaya dengan cahayanya sendiri.5
Adapun [i]ntatsarat berasal dari kata natsr. Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, natsr asy-syay‘ bermakna nasyruhu wa tafrîquhu (menyebarkan dan menceraiberaikannya).6 Saat kata tersebut disandingkan dengan kata al-kawâkibu dan dalam konteks kejadian pada Hari Kiamat, oleh para mufassir ditafsirkan dengan: tasâqathat mutafarriqah (berjatuhan dan bercerai-berai). Demikian menurut Asy-Syaukani, Al-Baidhawi, Al-Alusi, dan lain-lain.7
Kemudian Allah SWT berfirman: wa idza al-bihâr fujjirat (jika lautan dijadikan meluap). Kejadian besar juga terjadi di bumi, yakni: al-bihâr fujjirat. Kata al-bihâr merupakan bentuk jamak dari kata al-bahr. Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, pada asalnya al-bahr adalah semua tempat luas yang menghimpun air yang banyak. Lalu kadang digunakan untuk mengungkapkan luas tertentu.8 Ada juga yang mengatakan bahwa pada asalnya kata al-bahr menunjuk pada air yang asin, bukan air tawar.9
Adapun fujjirat berasal dari kata al-fajr. Secara bahasa, makna al-fajr adalah syaqq asy-syay‘ syaqq[an] wâsi’[an] (membelah sesuatu dengan belahan yang luas).10
Menurut al-Qurthubi, sebagian laut meluapi sebagian lainnya sehingga laut menjadi satu.11 Al-Alusi juga berkata, “Laut dibuka dan dibelah sisi-sisinya, lalu dinding-dinding pembatasnya hilang, kemudian bercampurlah air tawar dengan air asin sehingga menjadi laut yang satu.”12
Al-Jazairi pun berkata, “Airnya bercampur satu sama lain, yang asin dan yang tawar, karena runtuhnya pembatas yang memisahkan satu sama lain disebabkan karena guncangan dahsyat pada bumi yang menandakan kehancuran dunia.”13
Pendapat sedikit berbeda dikemukakan oleh Al-Hasan yang berkata, “Fujjirat berarti airnya hilang sehingga menjadi kering. Awalnya, air laut dalam keadaan tenang dan berkumpul. Ketika dibelah, airnya pun berhamburan. Itu terjadi pada Hari Kiamat.”
Selanjutnya Allah SWT berfirman: wa idzâ al-qubûr bu’tsirat (jika kuburan-kuburan dibongkar). Kata al-qubûr merupakan bentuk jamak dari kata al-qabr. Artinya, madfa’ al-insân (tempat penguburan manusia). Demikian penjelasan Ibnu Manzhur.14
Adapun bu’tsirat merupakan al-mabnî al-majhûl dari kata ba’tsara. Menurut Ahmad Mukhtar, kalimat ba’tsara al-amwâl wa ghayrahâ berartibaddadahâ wafarraqahâ (dia memporakprandakan dan menceraiberaikan-nya). Kalimat ba’tsara al-kutub wa nahwahâ berarti dia membolak-balikkan bagian-bagiannya secara tidak teratur.15
Pengertian itu pula yang dipahami oleh para mufassir tentang ayat ini. Menurut Al-Qurthubi dan Ath-Thabari, makna ayat ini adalah kuburan tersebut dibalik dan dikeluarkan penghuninya dalam keadaan hidup.16 Al-Baidhawi juga berkata, “Dibalik tanahnya dan dikeluarkan mayat-mayatnya.”17
Menurut Al-Baghawi, “Digali, dibalik tanahnya dan dibangkitkan kembali mayat-mayat di dalamnya dalam keadaan hidup.”18
Dengan demikian ayat ini memberitakan tentang manusia yang telah mati dalam kuburan, yang kemudian dihidupkan kembali. Kuburnya dibongkar, mayatnya dikeluarkan dan dihidupkan kembali.
Kemudian Allah SWT berfirman: ‘alimat nafs[un] mâ qaddamat wa akhharat (maka setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dia kerjakan dan yang dia tinggalkan). Menurut Al-Qurthubi, ayat ini merupakan jawab dari ayat sebelumnya: Idzâ al-samâ` [i]nfatharat.19
Dalam ayat ini digunakan kata nafs[un] yang merupakan ism al-jins (kata jenis). Oleh karena itu, kata tersebut menunjuk pada semua jiwa. Al-Jazairi berkata tentang ayat ini, “Yakni setiap jiwa yang mukallaf (mendapatkan taklif).”20
Menurut Ibnu Athiyah, disebutkan dalam bentuk tunggal untuk menjelaskan kepada benak pendengar tentang kehinaan, kekurangan dan kelemahan zatnya; kecuali orang-orang yang dirahmati Allah SWT. 21
Menurut Asy-Syaukani, jiwa-jiwa itu mengetahui saat pembagian lembaran (catatan amal), bukan pada saat dibangkitkan. Sebab, itu merupakan satu waktu, yaitu mulai jiwa dibangkitkan hingga penghuni surga kembali ke surga dan penghuni neraka kembali ke neraka.
Menurut ayat ini, saat itu semua jiwa mengetahui mâ qaddamat dan mâ akhkharat. Ada beberapa penjelasan tentang makna dua kata tersebut. Menurut Qatadah mâ qaddamat (mengerjakan) kebaikan, sedangkan wa akhkharat (meninggalkan) perkara yang menjadi hal Allah atasnya dan tidak dia kerjakan.22
Ibnu Zaid menafsirkan mâ qaddamat dalam ayat ini sebagai ‘amilat (apa yang dikerjakan). Adapun mâ akhkharat adalah tarakat wa dhayy’at (apa yang ditinggalkan dan diabaikan). Mengabaikan amal shalih yang diserukan Allah SWT.23
Akan tetapi, penafsiran ini tidak dipilih sebagian besar mufassir. Dikatakan Ibnu Athiyah, sebagian besar para mufassir berpendapat tentang ayat ini, “Sesungguhnya ini merupakan ungkapan untuk menyebut seluruh amal perbuatan. Sebab, pembagian ini mencakup semua ketaatan yang dikerjakan maupun yang ditinggalkan. Demikian pula dengan kemaksiatan.”24
Kemudian mufassir tersebut mengutip Ibnu Abbas dan al-Qurazhi Muhammad bin Kaab yang berkata: “Mâ qaddamat adalah (amal yang dikerjakan) di dalam hidupnya, sedangkan mâ akhharat adalah adat kebiasaannya, lalu dikerjakan (orang lain) setelah matinya.”25
Menurut Asy-Syaukani, mâ qaddamat adalah semua perbuatan yang dikerjakan, yang baik maupun yang buruk. Adapun mâ akhkharatadalah sunnah hasanah aw sayy’ah (kebiasaan yang baik maupun yang buruk). Sebab, orang tersebut memperoleh pahala dari kebiasaan baik yang dia kerjakan dan pahala orang yang ikut mengerjakannya; juga mendapatkan dosa kebiasaan buruk yang dia lakukan dan dosa orang-orang yang ikut mengerjakannya.26
Menurut Al-Alusi, ini juga merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.27
Setelah memaparkan beberapa penafsiran, Ibnu Jarir ath-Thabari juga memilih penafsiran ini. Mufassir tersebut berkata, “Karena semua perbuatan hamba, yang baik maupun yang buruk, adalah termasuk mâ qaddamat. Semua hak Alllah yang diabaikan dan dilalaikan, sehingga tidak dia kerjakan, termasuk dalam keburukan mâ qaddamat (yang dikerjakan). Maka dari itu, apa yang tidak dikerjakan adalah keburukan qaddamâ (yang dikerjakan). Karena itu kami mengatakan bahwa mâ akhkhara adalah semua adat kebiasaan, yang baik maupun yang buruk, jika dikerjakan oleh orang lain sehingga dia mendapatkan semisal pahala dan dosa orang yang mengikutnya.”28
Ragam Kejadian Pada Hari Kiamat
Ayat-ayat ini memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Yang pertama kali disebutkan adalah peristiwa yang terjadi pada langit. Ibarat bangunan, langit laksana atap raksasa yang menaungi bumi tempat berpijak manusia. Meskipun tanpa tiang, langit terlihat kokoh. Tak telihat sama sekali terdapat lubang atau belahan besar. Akan tetapi, suatu saat langit itu akan terbelah, yakni saat Hari Kiamat terjadi. Dalam QS al-Haqqah[69]: 14-15 diberitakan bahwa bumi dan gunung-gunung diangkat, lalu dibenturkan, kemudian ditegaskan bahwa hari itu adalah Hari Kiamat. Selanjutnya dinyatakan bahwa langit terbelah (QS al-Haqqah [69]: 16).
Demikian pula dengan bintang-bintang yang bertebaran menghiasi langit. Benda langit yang jumlahnya amat banyak itu semuanya berjalan dengan teratur mengikuti garis edarnya masing-masing, yang pada malam hari terlihat bagaikan mutiara bertebaran tertata rapi. Akan tetapi, pada Hari Kiamat atas kehendak Allah SWT bintang-bintang itu akan jatuh berserakan. Tak bisa dibayangkan, betapa dahsyat saat benda-benda langit yang amat banyak jatuh dan menghantam bumi (Lihat juga: QS at-Takwir [81]: 2).
Peristiwa mengerikan juga terjadi di bumi. Laut, danau, sungai dan semacamnya airnya meluap dan tumpah ruah hingga semuanya bertemu menjadi satu lautan yang amat luas. Tak terbayangkan betapa dahsyat pula kejadian tersebut.
Itulah sebagian penggalan kejadian di Hari Kiamat. Setelah semua kejadian besar itu berlangsung, ada peristiwa amat penting bagi manusia. Itulah saat semua kuburan manusia dijungkirbalikkan dan dikeluarkan semua mayat yang ada di dalamnya. Jasad dan ruhnya disatukan lagi sehingga mereka hidup kembali. Dari manusia pertama hingga yang terakhir, semuanya dihidupakan kembali (Lihat: QS al-Waqi’ah [56]: 49-40).
Tak ada satu pun yang bisa mengelak dari kejadian tersebut, termasuk orang-orang yang ketika di dunia mengingkari peristiwa tersebut.
Episode selanjutnya adalah saat mereka harus mempertanggungjawabkan semua amal yang mereka lakukan di duni. Dalam ayat ini diberitakan, setiap orang mengetahui semua amal yang dikerjakan selama di dunia. Dalam ayat lainnya juga diterangkan, saat itu manusia dapat melihat amal perbuatannya, yang baik maupun yang buruk, walau seberat biji dzarrah (Lihat: QS al-Zalzalah [99]: 7-8; QS al-Qiyamah [75]: 12).
Inilah peristiwa yang pasti terjadi. Maka dri itu, sudah seharusnya kita menata langkah hidup kita agar senantiasa berada dalam agama-Nya; meyakini akidah-Nya dan tunduk patuh pada syariah-Nya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 478.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kurub al-Mishriyyah, 1964), 244; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 478.
3 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 267; Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 401; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 267; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats, 1420 H), 219; Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 2003), 529.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 244; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 478; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 267.
5 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1971.
6 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 790.
7 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 478; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1998), 292; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 267.
8 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 109.
9 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 109.
10 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 109.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 244.
12 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 267.
13 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 530.
14 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar Shadir, tt), 68.
15 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 1971.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 19, 244; Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 267.
17 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 292.
18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 219.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 244
20 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 530.
21 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol 5 (Berut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 446.
22 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 268.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 268.
24 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol 5, 446.
25 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol 5, 446.
26 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 479.
27 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 268.
28 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 268.
[www.al-khilafah.org]
إِذَا ٱلسَّمَآءُ ٱنفَطَرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡكَوَاكِبُ ٱنتَثَرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡبِحَارُ فُجِّرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡقُبُورُ بُعۡثِرَتۡ, عَلِمَتۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ وَأَخَّرَتۡ
Jika langit terbelah, jika bintang-bintang jatuh berserakan, jika lautan dijadikan meluap dan jika kuburan-kuburan dibongkar maka setiap jiwa akan mengetahui apa saja yang telah dia kerjakan dan yang telah dia tinggakan(QS al-Infithar [82]: 1-5).
Tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama bahwa surat ini tergolong sebagai Makiyyah.1 Surat yang terdiri dari sembilan belas ayat ini diawali dengan berita tentang beberapa peristiwa yang terjadi pada Hari Kiamat. Dalam ayat terakhir disebutkan bahwa pada Hari Kiamat, semua urusan menjadi milik Allah SWT.
Tentang surat ini, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ رَأْىُ عَيْنٍ فَلْيَقْرَأْ (إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ) وَ (إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ) وَ (إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ)
Siapa saja yang ingin menyaksikan Hari Kiamat seolah-olah melihat dengan mata kepala sendiri, hendaklah membaca surat at-Takwir, al-Infithar, dan al-Insyiqaq (HR al-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Idz as-samâ‘ [i]nfatharat (Jika langit terbelah). Yang pertama kali disebutkan dalam ayat adalah kejadian pada langit, yakni saat langit mengalami [i]nfatharat. Kata [i]nfatharat berasal dari kata al-fithr. Artinya, asy-syaqq (belahan). Dikatakan: Fathartuhu fa [i]nfathara (Aku membelahnya sehingga ia pun terbelah). Juga perkataan: fathara nâb al-ba’îr (Gigi taring unta itu terbelah). 2
Pengertian ini pula yang diambil oleh para mufassir dalam memahami ayat ini. Menurut mereka, kata [i]nfatharat dalam ayat ini bermaknainsyaqqat (terbelah). Demikian menurut para mufassir seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, al-Khazin, al-Alusi, al-Baghawi, al-Jazairi, dan lain-lain.3 Oleh karena itu keseluruhan ayat ini bermakna: Ketika langit terbelah.
Menurut Imam al-Qurthubi, al-Wahidi, al-Alusi, dan lain-lain, langit terbelah lantaran para malaikat diturunkan (QS al-Furqan [25]: 25).4
Kemudian Allah SWT berfirman: wa idzâ al-kawâkiba [i]ntatsarat (jika bintang-bintang jatuh berserakan). Kejadian besar lainnya juga terjadi pada benda-benda langit, yakni saat al-kawâkib mengalami [i]ntatsarat. Kata al-kawâkib adalah bentuk jamak dari kata al-kawkab. Menurut Dr. Ahmad Mukthar, al-kawkab adalah benda langit yang beredar di sekitar matahari dan bercahaya dengan cahayanya sendiri.5
Adapun [i]ntatsarat berasal dari kata natsr. Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, natsr asy-syay‘ bermakna nasyruhu wa tafrîquhu (menyebarkan dan menceraiberaikannya).6 Saat kata tersebut disandingkan dengan kata al-kawâkibu dan dalam konteks kejadian pada Hari Kiamat, oleh para mufassir ditafsirkan dengan: tasâqathat mutafarriqah (berjatuhan dan bercerai-berai). Demikian menurut Asy-Syaukani, Al-Baidhawi, Al-Alusi, dan lain-lain.7
Kemudian Allah SWT berfirman: wa idza al-bihâr fujjirat (jika lautan dijadikan meluap). Kejadian besar juga terjadi di bumi, yakni: al-bihâr fujjirat. Kata al-bihâr merupakan bentuk jamak dari kata al-bahr. Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, pada asalnya al-bahr adalah semua tempat luas yang menghimpun air yang banyak. Lalu kadang digunakan untuk mengungkapkan luas tertentu.8 Ada juga yang mengatakan bahwa pada asalnya kata al-bahr menunjuk pada air yang asin, bukan air tawar.9
Adapun fujjirat berasal dari kata al-fajr. Secara bahasa, makna al-fajr adalah syaqq asy-syay‘ syaqq[an] wâsi’[an] (membelah sesuatu dengan belahan yang luas).10
Menurut al-Qurthubi, sebagian laut meluapi sebagian lainnya sehingga laut menjadi satu.11 Al-Alusi juga berkata, “Laut dibuka dan dibelah sisi-sisinya, lalu dinding-dinding pembatasnya hilang, kemudian bercampurlah air tawar dengan air asin sehingga menjadi laut yang satu.”12
Al-Jazairi pun berkata, “Airnya bercampur satu sama lain, yang asin dan yang tawar, karena runtuhnya pembatas yang memisahkan satu sama lain disebabkan karena guncangan dahsyat pada bumi yang menandakan kehancuran dunia.”13
Pendapat sedikit berbeda dikemukakan oleh Al-Hasan yang berkata, “Fujjirat berarti airnya hilang sehingga menjadi kering. Awalnya, air laut dalam keadaan tenang dan berkumpul. Ketika dibelah, airnya pun berhamburan. Itu terjadi pada Hari Kiamat.”
Selanjutnya Allah SWT berfirman: wa idzâ al-qubûr bu’tsirat (jika kuburan-kuburan dibongkar). Kata al-qubûr merupakan bentuk jamak dari kata al-qabr. Artinya, madfa’ al-insân (tempat penguburan manusia). Demikian penjelasan Ibnu Manzhur.14
Adapun bu’tsirat merupakan al-mabnî al-majhûl dari kata ba’tsara. Menurut Ahmad Mukhtar, kalimat ba’tsara al-amwâl wa ghayrahâ berartibaddadahâ wafarraqahâ (dia memporakprandakan dan menceraiberaikan-nya). Kalimat ba’tsara al-kutub wa nahwahâ berarti dia membolak-balikkan bagian-bagiannya secara tidak teratur.15
Pengertian itu pula yang dipahami oleh para mufassir tentang ayat ini. Menurut Al-Qurthubi dan Ath-Thabari, makna ayat ini adalah kuburan tersebut dibalik dan dikeluarkan penghuninya dalam keadaan hidup.16 Al-Baidhawi juga berkata, “Dibalik tanahnya dan dikeluarkan mayat-mayatnya.”17
Menurut Al-Baghawi, “Digali, dibalik tanahnya dan dibangkitkan kembali mayat-mayat di dalamnya dalam keadaan hidup.”18
Dengan demikian ayat ini memberitakan tentang manusia yang telah mati dalam kuburan, yang kemudian dihidupkan kembali. Kuburnya dibongkar, mayatnya dikeluarkan dan dihidupkan kembali.
Kemudian Allah SWT berfirman: ‘alimat nafs[un] mâ qaddamat wa akhharat (maka setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dia kerjakan dan yang dia tinggalkan). Menurut Al-Qurthubi, ayat ini merupakan jawab dari ayat sebelumnya: Idzâ al-samâ` [i]nfatharat.19
Dalam ayat ini digunakan kata nafs[un] yang merupakan ism al-jins (kata jenis). Oleh karena itu, kata tersebut menunjuk pada semua jiwa. Al-Jazairi berkata tentang ayat ini, “Yakni setiap jiwa yang mukallaf (mendapatkan taklif).”20
Menurut Ibnu Athiyah, disebutkan dalam bentuk tunggal untuk menjelaskan kepada benak pendengar tentang kehinaan, kekurangan dan kelemahan zatnya; kecuali orang-orang yang dirahmati Allah SWT. 21
Menurut Asy-Syaukani, jiwa-jiwa itu mengetahui saat pembagian lembaran (catatan amal), bukan pada saat dibangkitkan. Sebab, itu merupakan satu waktu, yaitu mulai jiwa dibangkitkan hingga penghuni surga kembali ke surga dan penghuni neraka kembali ke neraka.
Menurut ayat ini, saat itu semua jiwa mengetahui mâ qaddamat dan mâ akhkharat. Ada beberapa penjelasan tentang makna dua kata tersebut. Menurut Qatadah mâ qaddamat (mengerjakan) kebaikan, sedangkan wa akhkharat (meninggalkan) perkara yang menjadi hal Allah atasnya dan tidak dia kerjakan.22
Ibnu Zaid menafsirkan mâ qaddamat dalam ayat ini sebagai ‘amilat (apa yang dikerjakan). Adapun mâ akhkharat adalah tarakat wa dhayy’at (apa yang ditinggalkan dan diabaikan). Mengabaikan amal shalih yang diserukan Allah SWT.23
Akan tetapi, penafsiran ini tidak dipilih sebagian besar mufassir. Dikatakan Ibnu Athiyah, sebagian besar para mufassir berpendapat tentang ayat ini, “Sesungguhnya ini merupakan ungkapan untuk menyebut seluruh amal perbuatan. Sebab, pembagian ini mencakup semua ketaatan yang dikerjakan maupun yang ditinggalkan. Demikian pula dengan kemaksiatan.”24
Kemudian mufassir tersebut mengutip Ibnu Abbas dan al-Qurazhi Muhammad bin Kaab yang berkata: “Mâ qaddamat adalah (amal yang dikerjakan) di dalam hidupnya, sedangkan mâ akhharat adalah adat kebiasaannya, lalu dikerjakan (orang lain) setelah matinya.”25
Menurut Asy-Syaukani, mâ qaddamat adalah semua perbuatan yang dikerjakan, yang baik maupun yang buruk. Adapun mâ akhkharatadalah sunnah hasanah aw sayy’ah (kebiasaan yang baik maupun yang buruk). Sebab, orang tersebut memperoleh pahala dari kebiasaan baik yang dia kerjakan dan pahala orang yang ikut mengerjakannya; juga mendapatkan dosa kebiasaan buruk yang dia lakukan dan dosa orang-orang yang ikut mengerjakannya.26
Menurut Al-Alusi, ini juga merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.27
Setelah memaparkan beberapa penafsiran, Ibnu Jarir ath-Thabari juga memilih penafsiran ini. Mufassir tersebut berkata, “Karena semua perbuatan hamba, yang baik maupun yang buruk, adalah termasuk mâ qaddamat. Semua hak Alllah yang diabaikan dan dilalaikan, sehingga tidak dia kerjakan, termasuk dalam keburukan mâ qaddamat (yang dikerjakan). Maka dari itu, apa yang tidak dikerjakan adalah keburukan qaddamâ (yang dikerjakan). Karena itu kami mengatakan bahwa mâ akhkhara adalah semua adat kebiasaan, yang baik maupun yang buruk, jika dikerjakan oleh orang lain sehingga dia mendapatkan semisal pahala dan dosa orang yang mengikutnya.”28
Ragam Kejadian Pada Hari Kiamat
Ayat-ayat ini memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Yang pertama kali disebutkan adalah peristiwa yang terjadi pada langit. Ibarat bangunan, langit laksana atap raksasa yang menaungi bumi tempat berpijak manusia. Meskipun tanpa tiang, langit terlihat kokoh. Tak telihat sama sekali terdapat lubang atau belahan besar. Akan tetapi, suatu saat langit itu akan terbelah, yakni saat Hari Kiamat terjadi. Dalam QS al-Haqqah[69]: 14-15 diberitakan bahwa bumi dan gunung-gunung diangkat, lalu dibenturkan, kemudian ditegaskan bahwa hari itu adalah Hari Kiamat. Selanjutnya dinyatakan bahwa langit terbelah (QS al-Haqqah [69]: 16).
Peristiwa mengerikan juga terjadi di bumi. Laut, danau, sungai dan semacamnya airnya meluap dan tumpah ruah hingga semuanya bertemu menjadi satu lautan yang amat luas. Tak terbayangkan betapa dahsyat pula kejadian tersebut.
Itulah sebagian penggalan kejadian di Hari Kiamat. Setelah semua kejadian besar itu berlangsung, ada peristiwa amat penting bagi manusia. Itulah saat semua kuburan manusia dijungkirbalikkan dan dikeluarkan semua mayat yang ada di dalamnya. Jasad dan ruhnya disatukan lagi sehingga mereka hidup kembali. Dari manusia pertama hingga yang terakhir, semuanya dihidupakan kembali (Lihat: QS al-Waqi’ah [56]: 49-40).
Tak ada satu pun yang bisa mengelak dari kejadian tersebut, termasuk orang-orang yang ketika di dunia mengingkari peristiwa tersebut.
Episode selanjutnya adalah saat mereka harus mempertanggungjawabkan semua amal yang mereka lakukan di duni. Dalam ayat ini diberitakan, setiap orang mengetahui semua amal yang dikerjakan selama di dunia. Dalam ayat lainnya juga diterangkan, saat itu manusia dapat melihat amal perbuatannya, yang baik maupun yang buruk, walau seberat biji dzarrah (Lihat: QS al-Zalzalah [99]: 7-8; QS al-Qiyamah [75]: 12).
Inilah peristiwa yang pasti terjadi. Maka dri itu, sudah seharusnya kita menata langkah hidup kita agar senantiasa berada dalam agama-Nya; meyakini akidah-Nya dan tunduk patuh pada syariah-Nya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 478.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kurub al-Mishriyyah, 1964), 244; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 478.
3 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 267; Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 401; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 267; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats, 1420 H), 219; Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 2003), 529.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 244; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 478; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 267.
5 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1971.
6 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 790.
7 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 478; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1998), 292; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 267.
8 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 109.
9 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 109.
10 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 109.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 244.
12 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 267.
13 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 530.
14 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar Shadir, tt), 68.
15 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 1971.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 19, 244; Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 267.
17 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 292.
18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 219.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 244
20 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 530.
21 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol 5 (Berut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 446.
22 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 268.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 268.
24 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol 5, 446.
25 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol 5, 446.
26 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 479.
27 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 268.
28 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 268.
[www.al-khilafah.org]
Post a Comment