Harapan Anak Rohingya di dunia Pendidikan
Rakhine, SITTWE - Sepanjang lintasan peradaban, manusia adalah makhluk yang dikenal senang bertutur. Manusia hidup dalam dunia cerita yang suatu hari akan dituturkan kembali kepada anak dan cucu. Pesan bijak dari tetua berkata, ajarkan mereka untuk mendengar sampai selesai, tetapi jangan matikan rasa ingin tahunya.
Sebab, melalui rasa ingin tahunya akan banyak sel-sel otaknya yang terbentuk. Karena demikian, hendaknya cerita yang mengelilingi masa pertumbuhan mereka adalah cerita positif sarat ajaran moral. “Berkisah” barangkali menjadi media paling awal untuk para orang tua mendidik anaknya.
Namun, suatu hari di Sittwe, kisah seperti apa yang dikisahkan para ayah dan ibu etnis Rohingya dalam mendidik anaknya di Kota Sittwe?
Kota pelabuhan yang terletak strategis dekat Teluk Benggali ini punya kisah tak terlewatkan tentang asal-muasal nama kota “Sittwe”, tanah kelahiran mereka orang-orang Rohingya. Dari sini, anak Rohingya di Sittwe merekam kisah masa lalu.
Alkisah, Burma dipimpin Raja Bodawpaya menyerbu Arakan (sekarang provinsi di Myanmar-red) pada tahun 1784, para pembela Arakan beradu kekuatan dengan Burma di mulut Sungai Kalandan. Etnis Rohingya pada saat itu sebagian besar adalah tentara maupun pejabat pengadilan yang mengabdi kepada Kerajaan Arakan. Dalam pertempuran setahun setelahnya, pasukan Arakan berhasil dikalahkan. Mereka mengeksekusi seluruh pria Rohingya kemudian mengusir anak-anak dan wanita etnis Rohingya dari tanah Arakan ke Benggali.
Sejak itu, orang-orang menyebut tempat pertempuran terjadi sebagai “Site Twêy” dalam bahasa Arakan, atau Sittwe dalam bahasa sehari-hari Burma. Secara harfiah, Sittwe berarti “tempat di mana perang bertemu”.
Singkat cerita, ketika Inggris menguasai Myanmar tahun 1826, Etnis keturunan Rohingya yang pernah diusir dari Arakan dipersilahkan untuk kembali ke Arakan karena penduduknya yang belum padat. Reaksi keras pun muncul dari warga Arakan yang beragama Budha.
Seakan terus mengiyakan namanya sendiri, hingga kini perang berabad yang lalu di Kota Sittwe masih berlanjut.
Perang berwujud ketegangan etnis paling sering terjadi. Puncaknya, tahun 2012 lalu perhatian internasional tersita dengan kerusuhan massa mayoritas Budha yang membakar rumah minoritas Rohingya. Lagi, kota Sittwe menjadi pusat di mana “perang” alias bentrokan itu bertemu.
Kerusuhan tahun 2012 itu memaksa sebagian besar Rohingya di Sittwe untuk mengungsi ke kamp-kamp darurat di pinggiran pedesaan. Sekarang ada sekitar 140.000 minoritas Rohingya (Internally Displaced Person) yang tinggal di gubuk tipis bambu tanpa listrik. Mereka tidak diizinkan menginjak tanah di Sittwe kecuali kamp-kamp tersebut. Tak sedikit yang sudah membangun kamp lalu dibakar lagi karena dianggap illegal.
Empat tahun sudah minoritas Rohingya terpenjara oleh diskriminasi lengkap dengan segala kekurangan untuk bertahan hidup. Bertahan di Sittwe atau pergi mencari suaka sama saja, keduanya hanyalah nama lain dari penderitaan.
“Mereka mengalami pembatasan kebebasan bergerak yang memiliki dampak yang parah pada hak-hak dasar, termasuk akses ke mata pencaharian, makanan, air dan sanitasi , pelayanan kesehatan dan pendidikan,” ungkap seorang perwakilan PBB untuk Myanmar, mengutip sebuah media lokal di Arakan.
Oktober 2016 lalu, babak baru penindasan Rohingya memang memang sedang bergulir panas di Maungdaw, namun keadaan di Sittwe yang jauh lebih stabil tidak akan menamatkan cerita ini. Penderitaan dan harapan masih lari bergantian di dada mereka.
Harapan tetap masih ada, terutama ada pada para penerusnya. Ya, harapan masih membuncah pada generasi anak-anak dan pemuda Rohingya.
Dari sekolah, menjaga harapan anak Rohingya
Sekolah sebetulnya adalah barang mahal bagi anak-anak Rohingya. The Arakan Project, Lembaga Advokasi Rohingya, mengatakan bahwa lebih dari 60 persen anak-anak Rohingya berusia 5 sampai 17 tahun belum pernah ke sekolah. Kemiskinan dan kurangnya bangunan sekolah menjadi penyebab utama. Belum lagi penindasan sebagai minoritas, sekolah untuk Rohingya terpisah dari mayoritas. Sementara itu, data lainnya menulis, ada 80 persen warga Rohingya yang buta huruf.
Kaum muda Rohingya yang sempat beruntung mengenyam pendidikan tinggi pun kini dilarang melanjutan perkuliahan. Bahkan sebelum bentrokan terjadi 2012 silam, pemerintah setempat tidak mengizinkan minoritas Rohingya mendaftar dan menikmati derajat penghasilan di jurusan tertentu, seperti jurusan teknik dan kedokteran.
Menelisik secara jeli keadaan tersebut, Aksi Cepat Tanggap berikhtiar memberikan bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan melalui bantuan membangun madrasah. Tim ACT untuk Rohingya datang dengan membawa bantuan untuk merehabilitasi madrasah lama mereka yang sudah tak layak. Sebelumnya mereka harus belajar tanpa meja dan duduk ditanah beralaskan terpal. Bantuan alat-alat sekolah juga turut diberikan.
Siang itu, pertengahan Januari 2016 di bawah terik musim kemarau Kota Sittwe, para pemuda dan ayah mereka bergotong royong memoles tanah dengan semen. Beberapa hari kemudian, bangunan anyam bambu telah menjadi madrasah sederhana yang nyaman untuk duduk menimba ilmu. Meja panjang disusun berhadap-hadapan dengan tiang yang memisahkan antara santri putri dan putra.
Kini, hampir setiap hari anak-anak di salah satu kamp pengungsian Sittwe itu dengan riang mengisi waktu untuk mengaji al-Qur’an dan membagi cerita-cerita. Madrasah itu jadi tempat nyaman bagi anak-anak Rohingya itu untuk bercengkerama.
Menariknya, berdasarkan penuturan mitra ACT di Sittwe, mereka memulai pelajaran dengan meminum teh bersama. Diawali dengan basmalah, mereka menghirup kehangatan teh seraya bersyukur untuk kenikmatan hari ini lalu berdoa agar konflik segera mereda
Kelak, generasi Rohingya dengan bangga mengisahkan kepada anak cucu mereka, bahwa mereka berhasil mengalahkan penderitaan tersebut dengan persatuan. Persatuan manusia-manusia yang terpanggil kemanusiaannya untuk menolong dan membantu bangkit bersama.
Harapan anak-anak Rohingya di Sittwe itu sederhana saja, hingga akan ada suatu hari, di mana tak akan ada lagi kisah tentang sistem pemisahan ras dan penindasan karena perbedaan. Hari itu, kelak akan dikenang sebagai perdamaian.
Penulis: Tsurayya Fajri Islami
Editor: Shulhan Syamsur Rijal
Sumber foto: Dokumentasi Tim ACT di Sittwe 2014 dan 2016
ACTNews,
Sebab, melalui rasa ingin tahunya akan banyak sel-sel otaknya yang terbentuk. Karena demikian, hendaknya cerita yang mengelilingi masa pertumbuhan mereka adalah cerita positif sarat ajaran moral. “Berkisah” barangkali menjadi media paling awal untuk para orang tua mendidik anaknya.
Namun, suatu hari di Sittwe, kisah seperti apa yang dikisahkan para ayah dan ibu etnis Rohingya dalam mendidik anaknya di Kota Sittwe?
Kota pelabuhan yang terletak strategis dekat Teluk Benggali ini punya kisah tak terlewatkan tentang asal-muasal nama kota “Sittwe”, tanah kelahiran mereka orang-orang Rohingya. Dari sini, anak Rohingya di Sittwe merekam kisah masa lalu.
Alkisah, Burma dipimpin Raja Bodawpaya menyerbu Arakan (sekarang provinsi di Myanmar-red) pada tahun 1784, para pembela Arakan beradu kekuatan dengan Burma di mulut Sungai Kalandan. Etnis Rohingya pada saat itu sebagian besar adalah tentara maupun pejabat pengadilan yang mengabdi kepada Kerajaan Arakan. Dalam pertempuran setahun setelahnya, pasukan Arakan berhasil dikalahkan. Mereka mengeksekusi seluruh pria Rohingya kemudian mengusir anak-anak dan wanita etnis Rohingya dari tanah Arakan ke Benggali.
Sejak itu, orang-orang menyebut tempat pertempuran terjadi sebagai “Site Twêy” dalam bahasa Arakan, atau Sittwe dalam bahasa sehari-hari Burma. Secara harfiah, Sittwe berarti “tempat di mana perang bertemu”.
Singkat cerita, ketika Inggris menguasai Myanmar tahun 1826, Etnis keturunan Rohingya yang pernah diusir dari Arakan dipersilahkan untuk kembali ke Arakan karena penduduknya yang belum padat. Reaksi keras pun muncul dari warga Arakan yang beragama Budha.
Seakan terus mengiyakan namanya sendiri, hingga kini perang berabad yang lalu di Kota Sittwe masih berlanjut.
Perang berwujud ketegangan etnis paling sering terjadi. Puncaknya, tahun 2012 lalu perhatian internasional tersita dengan kerusuhan massa mayoritas Budha yang membakar rumah minoritas Rohingya. Lagi, kota Sittwe menjadi pusat di mana “perang” alias bentrokan itu bertemu.
Kerusuhan tahun 2012 itu memaksa sebagian besar Rohingya di Sittwe untuk mengungsi ke kamp-kamp darurat di pinggiran pedesaan. Sekarang ada sekitar 140.000 minoritas Rohingya (Internally Displaced Person) yang tinggal di gubuk tipis bambu tanpa listrik. Mereka tidak diizinkan menginjak tanah di Sittwe kecuali kamp-kamp tersebut. Tak sedikit yang sudah membangun kamp lalu dibakar lagi karena dianggap illegal.
Empat tahun sudah minoritas Rohingya terpenjara oleh diskriminasi lengkap dengan segala kekurangan untuk bertahan hidup. Bertahan di Sittwe atau pergi mencari suaka sama saja, keduanya hanyalah nama lain dari penderitaan.
“Mereka mengalami pembatasan kebebasan bergerak yang memiliki dampak yang parah pada hak-hak dasar, termasuk akses ke mata pencaharian, makanan, air dan sanitasi , pelayanan kesehatan dan pendidikan,” ungkap seorang perwakilan PBB untuk Myanmar, mengutip sebuah media lokal di Arakan.
Oktober 2016 lalu, babak baru penindasan Rohingya memang memang sedang bergulir panas di Maungdaw, namun keadaan di Sittwe yang jauh lebih stabil tidak akan menamatkan cerita ini. Penderitaan dan harapan masih lari bergantian di dada mereka.
Harapan tetap masih ada, terutama ada pada para penerusnya. Ya, harapan masih membuncah pada generasi anak-anak dan pemuda Rohingya.
Dari sekolah, menjaga harapan anak Rohingya
Sekolah sebetulnya adalah barang mahal bagi anak-anak Rohingya. The Arakan Project, Lembaga Advokasi Rohingya, mengatakan bahwa lebih dari 60 persen anak-anak Rohingya berusia 5 sampai 17 tahun belum pernah ke sekolah. Kemiskinan dan kurangnya bangunan sekolah menjadi penyebab utama. Belum lagi penindasan sebagai minoritas, sekolah untuk Rohingya terpisah dari mayoritas. Sementara itu, data lainnya menulis, ada 80 persen warga Rohingya yang buta huruf.
Kaum muda Rohingya yang sempat beruntung mengenyam pendidikan tinggi pun kini dilarang melanjutan perkuliahan. Bahkan sebelum bentrokan terjadi 2012 silam, pemerintah setempat tidak mengizinkan minoritas Rohingya mendaftar dan menikmati derajat penghasilan di jurusan tertentu, seperti jurusan teknik dan kedokteran.
Menelisik secara jeli keadaan tersebut, Aksi Cepat Tanggap berikhtiar memberikan bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan melalui bantuan membangun madrasah. Tim ACT untuk Rohingya datang dengan membawa bantuan untuk merehabilitasi madrasah lama mereka yang sudah tak layak. Sebelumnya mereka harus belajar tanpa meja dan duduk ditanah beralaskan terpal. Bantuan alat-alat sekolah juga turut diberikan.
Siang itu, pertengahan Januari 2016 di bawah terik musim kemarau Kota Sittwe, para pemuda dan ayah mereka bergotong royong memoles tanah dengan semen. Beberapa hari kemudian, bangunan anyam bambu telah menjadi madrasah sederhana yang nyaman untuk duduk menimba ilmu. Meja panjang disusun berhadap-hadapan dengan tiang yang memisahkan antara santri putri dan putra.
Kini, hampir setiap hari anak-anak di salah satu kamp pengungsian Sittwe itu dengan riang mengisi waktu untuk mengaji al-Qur’an dan membagi cerita-cerita. Madrasah itu jadi tempat nyaman bagi anak-anak Rohingya itu untuk bercengkerama.
Menariknya, berdasarkan penuturan mitra ACT di Sittwe, mereka memulai pelajaran dengan meminum teh bersama. Diawali dengan basmalah, mereka menghirup kehangatan teh seraya bersyukur untuk kenikmatan hari ini lalu berdoa agar konflik segera mereda
Kelak, generasi Rohingya dengan bangga mengisahkan kepada anak cucu mereka, bahwa mereka berhasil mengalahkan penderitaan tersebut dengan persatuan. Persatuan manusia-manusia yang terpanggil kemanusiaannya untuk menolong dan membantu bangkit bersama.
Harapan anak-anak Rohingya di Sittwe itu sederhana saja, hingga akan ada suatu hari, di mana tak akan ada lagi kisah tentang sistem pemisahan ras dan penindasan karena perbedaan. Hari itu, kelak akan dikenang sebagai perdamaian.
Penulis: Tsurayya Fajri Islami
Editor: Shulhan Syamsur Rijal
Sumber foto: Dokumentasi Tim ACT di Sittwe 2014 dan 2016
ACTNews,
Post a Comment